MGMP PAI KKM MTSN 2 CIANJUR
Jumat, 22 Februari 2019
Pengorbanan Orang Tua Tak Akan Terbayar Oleh Apapun
Pengorbanan Orang Tua Tak Akan Terbayar Oleh Apapun
Senin, 01 Agustus 2016
SURAT PEMBERITAHUAN MGMP PAI
MUSYAWARAH
GURU MATA PELAJARAN (MGMP)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(PAI)
KKM MTs NEGERI 2 CIANJUR
Alamat : Jl. Raya Tanggeung KM.1 Kec.
Tanggeung Kabupaten Cianjur Kode POS 43267
Nomor : 005/MGMP-PAI/MTs/VII/2016
Lampiran :
1 (Bundel)
Prihal :
Pemberitahuan
Kepada
Yth. Kepala Madrasah
Se- KKM MTs Negeri 2 Cianjur
di
Tempat
Assalamu’alikum Wr. Wb.
Salam silaturrahim teriring do’a kami
sampaikan semoga Bapak/Ibu selalu berada
dalam lindungan-Nya, serta lancar
dalam menjalankan aktifitas keseharian. Amin.
Sehubungan dengan akan dimulainya kegiatan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Semester Ganjil Tahun Pelajaran
2016/2017, dengan ini kami pengurus MGMP PAI KKM MTsN 2 Cianjur, memberitahukan
agenda kepada para Kepala Madrasah untuk
menginformasikan dan mengirimkan para guru pada kegiatan Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP) Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagaimana agenda terlampir.
Demikianlah surat ini dibuat dengan
semestinya.
Tanggeung, 18 Juli 2016
Ketua
MGMP PAI
KKM MTs
Negeri Tanggeung
Drs. E.
SUHERMAN,M.MPd
NIP.196504082007011041
Tembusan
Yth.
1.
Ketua KKM MTs Negeri 2 Cianjur
2.
Pengawas MTs KKM MTs Negeri 2 Cianjur
3.
Arsip
Minggu, 22 November 2015
makalah tentang SEWA-MENYAWA
SEWA
MENYEWA MENURUT ISLAM
Pada
masa sekarang ini semakin banyak muncul masalah dalam bidang muamalah. Dan
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka masalahpun
semakin kompleks, khususnya dalam bidang fiqhiyah. Untuk menyikapi kondisi yang
seperti ini, kita dituntut untuk dapat berfikir secara logis serta tetap
konsisten memegang teguh dasar-dasar agama Islam.
Manusia
sebagai makhluk social yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain,
juga senantiasa terlibat dalam akad atau hubungan muamalah. Praktek muamalah
yang sering dilakukan diantaranya jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa, dan
lain sebagainya. Dalam menjalankan praktek muamalah kita tak hanya menggunakan
rasio akal tapi juga tetap berpegang pada Al-Qur’an dan hadist sebagai
dasarnya.
Salah
satu bentuk muamalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sewa menyewa.
Sewa menyewa menjadi praktek muamalah yang masih banyak kita jumpai dalam
kehidupan sehari-hari hingga saat ini. Untuk itu, sangat penting untuk membahas
secara rinci tentang pengertian, hukum, dasar hukum, rukun, syarat, serta
hal-hal yang diperdebatkan oleh ulama tentang sewa menyewa agar manusia menjadi
semakin mantap dengan akad sewa menyewa yang sering dilakukan dalam
kehidupannya.
SEWA MENYEWA
A. Pengertian Sewa Menyewa ( Ijarah)
Secara
etimologis, kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti ‘iwadhu
(pengganti). Oleh karena itu, tsawab (pahala) disebut juga dengan ajru (upah).
Dalam syari’at Islam sewa menyewa dinamakan ijarah yaitu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan kompensasi.
Kalau dalam kitab-kitab fiqh kata ijarah selalu diterjemahkan dengan “sewa menyewa” maka hal tersebut jangan diartikan menyewa barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi dipahami dalam arti luas. Dalam arti luas ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Jadi menjual manfaatnya bukan bendanya.
Kalau dalam kitab-kitab fiqh kata ijarah selalu diterjemahkan dengan “sewa menyewa” maka hal tersebut jangan diartikan menyewa barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi dipahami dalam arti luas. Dalam arti luas ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Jadi menjual manfaatnya bukan bendanya.
Dari
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sewa menyewa adalah suatu perjanjian
atau kesepakatan di mana penyewa harus membayarkan atau memberikan imbalan atas
manfaat dari benda atau barang yang dimiliki oleh pemilik barang yang
dipinjamkan.
Jika
melihat makna ijarah sebagai pemberian imbalan atas suatu manfaat, maka secara
garis besar ijarah itu terdiri atas:
1. Pemberian
imbalan karena mengambil manfaat dari suatu ‘ain seperti rumah, pakaian, dan
lain-lain. Jenis ini mengarah pada sewa menyewa.
2. Pemberian
imbalan akibat suatu pekerjaan yang dilakukan oleh nafs, seperti pelayan. Jenis
ini lebih tertuju pada upah mengupah.
Dan
kedua jenis ini menunjukan bahwa perburuhan pun termasuk ke dalam bidang
ijarah.
Hukum
dasar dari sewa menyewa adalah boleh. Sewa menyewa merupakan akad yang sering
kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti sewa menyewa rumah kontrakan,
sewa menyewa tanah untuk pertanian, sewa menyewa mobil, dan masih banyak lagi
yang lainnya.
B. Dasar Hukum Syariat Sewa Menyewa
Sewa
menyewa sangat dianjurkan dalam Islam karena mengandung unsur tolong menolong
dalam kebaikan antar sesama manusia. Sewa menyewa disahkan syariat berdasarkan Al-qur’an, sunnah, dan ijma’.
1. Al-Qashash:26
“Salah seorang dari
wanita itu berkata, ‘ wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (
pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
2.
Ath-Thaalaq:6
“Kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka
upahnya.” (Ath-Thaalaq: 6)
3.
Ahmad, abu Dawud, dan an-Nasa’I meriwayatkan dari Said bin Abi waqqash r.a yang
berkata,
“ Dahulu kami
menyewa tanah dengan bayaran tanaman yang tumbuh. Lalu Rosulullah melarang
praktik tersebut dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas atau
perak”.
4. Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda,
“Berbekamlah kalian dan berikanlah upah bekamnya kepada tukang bekam tersebut”.
“Berbekamlah kalian dan berikanlah upah bekamnya kepada tukang bekam tersebut”.
C. Rukun Sewa Menyewa.
Rukun
sewa menyewa adalah :
1.
Pelaku akad. Pihak yang menyewakan disebut
mu’ajjir, sedangkan pihak yang menyewa disebut musta’jir.
Syarat dari penyewa dan yang
menyewakan adalah: berakal, kehendak sendiri (bukan dipaksa), keduanya tidak
bersifat mubazir, balig (minimal berusia 15 tahun).
2.
Objek akad, yaitu barang atau manfaat yang disewakan
serta hujrah ( harga sewa).
3.
Akad sewa. Akad sewa dianggap sah setelah ijab qabul
dilakukan dengan lafadz sewa atau lafadz lain yang menunjukan makna sama.
D. Syarat Sah Sewa Menyewa.
Akad
sewa menyewa akan sah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Merelakan
kedua pihak pelaku, artinya kedua pelaku sewa menyewa tidak melakukan akad
secara terpaksa.
2. Mengetahui
manfaat barang yang disewakan dengan jelas.
3. Barang
yang menjadi obyek akad dapat diserahterimakan pada saat akad, baik secara
fisik ataupun definitive.
4. Barang
dapat diserahterimakan, termasuk manfaat yang dapat digunakan oleh penyewa.
5. Manfaat
barang tersebut status hukumnya mubah, bukan termasuk barang yang diharamkan.
6. Kompensasi
harus berbentuk harta dengan nilai jelas, konkrit atau dengan menyebutkan
criteria-kriterianya.
Kompensasi
atau upah yang diberikan boleh disesuaikan dengan standart kebiasaan masyarakat
setempat. Sebagian ulama ada yang membolehkan mengupah dengan makanan atau
pakaian dengan dalil hadist yang diriwayatkan oelh Ahmad dan Ibnu majah : kami
dulu pernah bersama Nabi, beliau lalu membaca Tha Sin Mim hingga ayat tentang
kisah nabi Musa a.s, lalu bersabda, ” sesungguhnya Musa menghambakan dirinya
selama delapan atau sepuluh tahun, untuk kepentingan menutupi aurat dan member
makan perutnya”. (HR Ibnu Majah dari Abu Bakara, Umar, dan Abu Musa).
E.
Masalah Dan Beda Pendapat Mengenai Sewa Menyewa.
Ajaran
Islam yang ada dalam Al-qur’an dan hadist telah terang-terangan membolehkan
akad sewa menyewa. Karena pada dasarnya setiap umat manusia akan saling
membutuhkan satu sama lain. Namun, sejalan dengan itu ada beberapa persoalan
tentang sewa menyewa yang menimbulkan perdedaan pendapat di antara para ulama.
1. Menyewa
pohon untuk mengambil buahnya.
Sebagian ulama
berpendapat bahwa manfaat yang disewakan itu hendaklah jangan sampai mengandung
lenyapnya sesuatu berupa zat, tetapi hanya harus semata-mata karena manfaat.
Ulama yang demikian tidak meperbolehkan menyewa pohon untuk diambil buahnya,
begitu juga menyewa binatang untuk mengambil bulu dan sebagainya.
Sedangkan ulama yang membolehkan berpendapat bahwa menyewa pohon karena buahnya dapat dianalogikan seperti menyewa seorang perempuan untuk menyusukan anak. Berdasarkan ayat at-thalaq ayat 6 di atas, sudah jelas bahwa Al-Qur’an membolehkan menyewa perempuan untuk menyusui anak, dengan faedah mengambil manfaat susunya berarti mengambil sesuatu dengan tidak mengurangi pokoknya(asalnya) sama artinya dengan manfaat.
Sedangkan ulama yang membolehkan berpendapat bahwa menyewa pohon karena buahnya dapat dianalogikan seperti menyewa seorang perempuan untuk menyusukan anak. Berdasarkan ayat at-thalaq ayat 6 di atas, sudah jelas bahwa Al-Qur’an membolehkan menyewa perempuan untuk menyusui anak, dengan faedah mengambil manfaat susunya berarti mengambil sesuatu dengan tidak mengurangi pokoknya(asalnya) sama artinya dengan manfaat.
2. Upah
mengajarkan al-qur’an, ilmu pengetahuan, dan upah untuk praktik ibadah.
Menyewa atau
mengupah orang yang mengajarkan al-qur’an dan ilmu pengetahuan hukumnya boleh,
walaupun mengajar itu memang sebuah kewajiban. Akan tetapi mengajar juga bisa
dinilai memakan waktu yang seharusnya bisa dilakukan untuk pekerjaan yang lain,
sehingga boleh mengupah kepara para guru dan pengajar.
Adapun mengenai upah untuk praktek ibadah ada perbedaan pendapat ulama mengenai itu, diantaranya:
Adapun mengenai upah untuk praktek ibadah ada perbedaan pendapat ulama mengenai itu, diantaranya:
a.
Mazhab Hanafi menyebutkan tidak boleh membayar jasa atas praktek ibadah
Seperti menyewa
orang lain untuk sholat, puasa, haji, membaca Al-qur’an, azan, imam sholat,
yang pahalanya dihadiahkan pada orang yang menyewa.
Seperti sabda Rosulullah kepada Ustman bin Abi Ash,
“jika anda dipilih menjadi muadzin, maka jangan ambil upah dari azan tersebut”.
Para ahli fiqh menyatakan upah yang diambil sebagai imbalan dari praktik ibadah adalah haram, termasuk mengambilnya. Praktik seperti itu sudah membudaya di masyarakat kita, seperti pemberian amplop berisi uang kepada orang yang mendoakan mayit. Akan tetapi pada zaman sekarang banyak ulama yang mengecualikan dalam hal pengajaran Al-Qur’an dan ilmu- ilmu syariat. Fatwanya boleh mengambil upah tersebut sebagai perbuatan baik.
Seperti sabda Rosulullah kepada Ustman bin Abi Ash,
“jika anda dipilih menjadi muadzin, maka jangan ambil upah dari azan tersebut”.
Para ahli fiqh menyatakan upah yang diambil sebagai imbalan dari praktik ibadah adalah haram, termasuk mengambilnya. Praktik seperti itu sudah membudaya di masyarakat kita, seperti pemberian amplop berisi uang kepada orang yang mendoakan mayit. Akan tetapi pada zaman sekarang banyak ulama yang mengecualikan dalam hal pengajaran Al-Qur’an dan ilmu- ilmu syariat. Fatwanya boleh mengambil upah tersebut sebagai perbuatan baik.
b.
Mazhab Hanbali.
Pembayaran upah atas
azan, iqomat, mengajarkan Al-qur’an, fiqh, hadist, badal haji dan qadha tidak
dibolehkan. Praktek dibolehkan hanya sebagai taqarrub bagi pelakunya. Dan
diharamkan mengambil bayaran dari perbuatan tersebut. Namun diperbolehkan
mengambil rezeki dari baitul mal atau wakaf untuk perbuatan bermanfaat seperti
qadha (hakim), mengajar Al-qur’an, fiqh, ibadah haji, bersaksi, mengumandangkan
azan, dan lain lain dengan alas an materi yang diberikan sebagai maslahat bukan
untuk kompensasi.
c.
Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Ibnu Hazm, membolehkan upah bagi yang mengajarkan
Al-Qur’an dan ilmu karena bisa digolongkan dalam jenis imbalan atas perbuatan
dan usaha yang diketahui dengan jelas.
“shah mengambil upah untuk mengerjakan that, seperti mengerjakan haji, mengajarkan Al-Qur’an, menjadi imam sembahyang dan menjadi muadzin.
Kesimpulannya, menurut Imam Hanafi dan Imam Hambali tidak sah mengambil upah dari mengerjakan ibadah seperti mengerjakan haji, mengajarkan Al-Qur’an, menjadi imam sholat, dan muadzin (penyeru azan). Sedangkan menurut Imam Maliki dan Syafi’i membolehkannya, kecuali untuk imam sholat.
“shah mengambil upah untuk mengerjakan that, seperti mengerjakan haji, mengajarkan Al-Qur’an, menjadi imam sembahyang dan menjadi muadzin.
Kesimpulannya, menurut Imam Hanafi dan Imam Hambali tidak sah mengambil upah dari mengerjakan ibadah seperti mengerjakan haji, mengajarkan Al-Qur’an, menjadi imam sholat, dan muadzin (penyeru azan). Sedangkan menurut Imam Maliki dan Syafi’i membolehkannya, kecuali untuk imam sholat.
F.
Batalnya Sewa Menyewa
Setelah terjadinya
akad yang sah antara kedua belah pihak, maka salah satunya tidak boleh
membatalkannya meskipun karena uzur, kecuali terdapat sesuatu yang mengahruskan
akad menjadi batal, seperti terjadi cacat pada barang yang disewakan. Misalnya
seseorang yang menyewa rumah, lalu didapati rumah tersebut sudah rusak atau
akan dirusakkan sesudah akad, atau budak yang disewakan sakit, atau yang
menyewakan mendapati cacat pada uang sewaan. Jika demikian, bagi yang
menyewakan boleh memilih (khiyar) antara diteruskan atau tidak persewaan
tersebut. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’I, dan Hambali.
KESIMPULAN
Setelah pembahasan akad sewa menyewa di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
a. Sewa
menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan di mana penyewa harus
membayarkan atau memberikan imbalan atau manfaat dari benda atau barang yang
dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan.
b. Hukum
sewa menyewa adalah diperbolehkan menurut syari’at Islam atas dasar dalil
Al-Qur’an , hadist, dan ijma’.
c. Sewa
menyewa dianjurkan oleh Islam karena mengandung unsur tolong menolong dalam
kebaikan bagi manusia.
d. Rukun
dari sewa menyewa adalah:
1. Pelaku
akad (mu’ajjir dan musta’jir).
2. Obyek
akad, yaitu barang yang akan disewakan serta harga sewa.
3. Akad sewa.
e.
Barang-barang
yang tidak bisa disewakan: pohon, uang, emas, perak, makanan, dan barang
–barang yang dapat ditakar, karena semua itu tidak dapat dimanfaatkan kecuali
mengkonsumsi bagian barang tersebut.
f. Domba, sapi, atau unta
jika hanya diambil susunya tidak boleh, karena ijarah (sewa) adalah kepemilikan
manfaat atas barang bukan berarti kepemilikan susu.
g. Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai ijarah pohon dan mengupah dalam hal ibadah.
g. Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai ijarah pohon dan mengupah dalam hal ibadah.
h.
Dari
pendapat-pendapat di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa tidak boleh
menyewakan pohon untuk diambil buahnya karena pohon itu sendiri bukan
keuntungan atau manfaat.
i.
Sedangkan dalam menyikapi upah dalam
hal ibadah seperti mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, dan lain- lain itu boleh,
karena bisa digolongkan dalam jenis imbalan atas perbuatan dan usaha yang
diketahui jelas.
j.
Akad sewa menyewa bisa dibatalkan
atau dilakukan khiyar apabila barang atau obyek sewaan dalam keadaan cacat.
Langganan:
Komentar (Atom)